Metamorforce

The Guard of Nature

Oleh : Diah Erni

Hp ku berbunyi ada satu pesan diterima. Ternyata dari salah satu anggota  metamorforce “Bu..saya sudah Jladri.. Ibu sudah sampai mana?”. “ Ya..tunggu sebentar lagi” jawabku. Waktu itu pukul 6 lebih 20 menit kalau tidak salah, posisi masih di rumah. Beberapa menit kemudian, bersama salah seoarag anggota metamorf, kami langsung meluncur ke MAN Gombong tempat berkumpulnya anggota yang akan ikut hiking. Di sini mereka sudah menunggu sejak tadi. Mereka adalah anggota metamorf (aku lebih suka menyebut mereka sebagai anggota dari pada sebagai siswa-siswaku). Jumlah anggota sudah lengkap. Waduuh..ternyata kami yang paling akhir berangkatnya alias telat. Hmm...merasa tidak enak hati.
Sekitar pukul 7 am, dari MAN Gombong kami ke arah selatan sekitar 14.4 km menuju Desa Jladri, yang merupakan salah satu desa di Kecamatan Buayan. Berjarak sekitar 3.87 km ke arah utara dari Pantai Karangbolong. Rencana awalnya start hiking dari  sini melanjutkan susur pantai “Tanggul Angin-Suwuk”. Namun setelah dilihat kondisinya tidak memungkinkan untuk dilakukan susur pantai. Mengapa begitu?

Mari kita tinjau dari ilmu geologi. Menurut salah seorang peneliti madya LIPI, Chusni Ansori, daerah ini termasuk dalam Kawasan Karst Gombong Selatan. Menurut hasil penelitiannya, bagian bawah dari kawasan ini berupa batuan gamping, sedangkan di atasnya didominasi batuan breksi dan andesit yang sifatnya sangat keras. Di sini terdapat pegunungan-pegunungan karst yang tersusun oleh litologi batu gamping yang dicirikan dengan bukit-bukit kecil pepino berbentuk kerucut. Sedang di sebelah selatannya adalah pegunungan gunung api tua yang berelief kasar. Lalu apa hubungannya?
Jika reliefnya saja kasar, bisa ditebak bentuk pantainya seperti apa. Ya benar sekali, bentuknya berupa pantai bertebing, sehingga tidak mungkin untuk disusuri. Dan yang pasti ombaknya menggila (He he..maksudnya sangat besar). Akhirnya lokasi start hiking digeser ke arah utara sekiar 3,87 km. Jadilah hiking kali ini susur gunung, bukan susur pantai seperti yang kita rencanakan. Untuk mencapai lokasi ini, dari sekolah, kami naik truk pengangkut pasir yang kebetulan saat itu kosong dan akan menuju arah yang sama. Dengan bermodal lambaian tangan 2 orang anggota, kami dapat tumpangan gratis sampai Desa Buayan...he he he,, benar-benar menggembel, tapi asiik juga . Bener kan??
Perjalanan dilanjutkan dengan mini bus ato lebih familiar dengan sebutan “Colt”. Sampailah kami di lokasi start “Desa Jladri”. Di sinilah tempat kami memulai hiking (baca: jalan kaki) yang sebenarnya. Saat ada 2 orang yang sudah menunggu sedari jam 6 pm, salah satunya adala aggota yag pagi tadi sms. Hmm.. skali lagi maaf ya... tidak bermaksud terlambat.
Sudahlah kita mulai saja perjalan menaklukkan perbukitan Karst Gombong Selatan. Lets go..
  Dilihat dari Google Earth, perjalanan kami dimulai pada titik 7°44'29.88"S dan 109°28'24.00"T. Kami berjalan ke arah barat, menyusuri pegunungan karst. Awalnya kenampakan karst tidak terlalu terlihat, namun semakin ke barat semakin jelas seiring dengan menipisnya lapisan tanah di kawasan tersebut. Semakin terlihat batuan gamping, dengan ciri khas batu berwarna putih atau krem, sifatnya sangat keras. Batuan seperti ini berasal dari sedimentasi binatang laut. Berarti dulunya daerah ini adalah laut? Ya. Menurut Chusni Ansori “kawasan karst gombong selatan adalah bagian patahan yang mengalami patahan atau dikenal dengan istilah horst. Apa itu horst? Silahkan buka buku geografi kelas X..
Gb. conical hill
Perjalanan kali ini cukup terjal, melewati beberapa desa yang tidak terlalu padat permukiman, melintasi 2 kecamatan yaitu Buayan dan Ayah. Di perjalanan yang menanjak, kadang kami berhenti untuk beristirahat, minum, dan mulai memakan perbekalan. Ada yang mampir ke warung.. ada juga yang meminta jambu biji ke penduduk (termasuk aku.. he he). Oia lupa.. kami pun sempat menyicipi air mentah langsung dari mata air karst yang berada di pinggir jalan., namanya juga survive,,he he..
Semakin ke barat bisa kami lihat di kanan kiri jalan bisa kami lihat conicalhill atau bukit-bukit kecil, khas morfologi karst. Mulai dari Desa Argosari hingga Kalipoh. Rasanya seperti de javu karena sebelumnya aku pernah ke desa ini, saat penelitian skripsi. Aku masih hafal, karena kondisi jalan di Desa Argosari masih sama dengan 3 tahun yang lalu, masih berupa tatanan batu gamping tanpa semen, belum ada perbaikan.
Berbeda dengan Desa Argosari, kondisi jalan di Desa Kalipoh yang sudah diperbaiki (disemen pada sisi kanan dan kiri jalan, sedangkan di bagian tengah dibiarkan). Namun bentuk jalan seperti ini justru lebih melelahkan karena kami berulang kali harus berpindah dari sisi kanan ke keri jalan atau sebaliknya untuk mengindari kendaraan bermotor. Lelah dan panas, itulah yang kami rasa saat itu. Saat menemukan ada sebuah warung, tanpa pikir panjang kami langsung mampir untuk membeli es lilin, tapi tidak ada, terpaksa kami beli minuman kemasan.
Perjalanan berlanjut, ke arah barat. Kali ini kami mulai menemukan jalan yang menurun, masih di desa yang sama “Kalipoh”. Sebagian jalan sudah diaspal. Bisa kami lihat di sekitar sini terdapat fegetasi karst yaitu pohon jati. Di bawah mulai terlihat Sungai Ijo dan Pantai Logending, artinya perjalan hampir sampai. Senang rasanya. Kami sampai di Pantai logending pukul 11.30, matahari sedang panas-panasnya. Menyengat tanpa ampun siapapun yang ada di bumi belahan siang. Kami duduk-duduk di dermaga, memandang laut lepas sambil melepas lelah.
Menjelang adzan, kami beranjak mencari masjid untuk menunaikan shalat dhuhur. Ketemu, setelah berjalan sekitar 700 m dari Pantai Logending ke arah ke utara. Di masjid ini pula kami berunding, apakah perjalanan akan dilanjutkan ke Pantai Jetis atau langsung pulang ke rumah. Saat itu cuaca agak mendung..namun semangat masih cerah. Sebagian ingin melanjutkan, sebagian lainnya idem.  Jadi, kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Pantai Jetis. Alasannya, “tanggung”, mau pulang masih kesiangan.. he he, whateverlah.
Ketika semua sepakat, kami  kembali berjalan, melewati pasar Ayah, menyeberang Jembatan (bukan sekedar menyebrang sungai, tetapi menyebrang kabupaten ‘Kebumen-Banyumas’), kemudian belok ke selatan. Setelah berjalan kurang lebih 1 km dari masjid, sampailah kami di stop site terakhir “Pantai Jetis”. Kami membuka perbekalan terakhir.  Seperti biasa, semua makanan digabungkan dan dimakan bersama, seperti sedang kenduren. Belum selesai makan siang..tiba-tiba angin bertiup kencang hingga makanan kami penuh dengan pasir .. untuk pertama kalinya makan nasi rasa pasir..he he he..
Acara kenduren sudah selesai, waktunya untuk memanjakan mata. Menurutku, pantai ini jauh lebih keren dari pantai sebelumnya, ombaknya yang landai, biru, dan masih bersih. Menarik untuk di dekati, kami mendekat ke ombak. Sebagian ada yang di pantai. Saking asyiknya bermain omabak dan berfoto ria, tak terasa Handphone ku jatuh terbawa ombak. Mati seketika. Sampai sekarang aku belum punya HP lagi... . Tapi tak apalah mugkin sudah waktunya dimusiumkan. Dibanding HP, pengalaman hiking ke tempat ini jauh lebih mahal nilainya.
Waktu sudah semakin sore, kami beranjak peningkalkan pantai ini dengan jalan kaki menuju jalan raya. Sama seperti sebelumnya, hanya bermodal lambaian tangan dua orang anggota, kami mendapatkan tebengan gratis yang kebetulan searah dengan perjalanan kami pulang. Rute truk yang kami tumpangi: Jetis- Ayah-Mangunweni-Jatijajar-Tugu-Banyumudal-Polsek Buayan. Berhenti ditempat ini dan dilanjutkan dengan menyegat pick up terbuka sampai MAN Gombong. Perjalanan hiking kali ini berakhir di sini.
_ Sekian....


0 komentar:

Posting Komentar


hit counter

Label

Pengikut Blog